Laut China Selatan dan Dilema Prabowo
Diberitakan dari Pria4d Jakarta -
Ketegangan di Laut China Selatan tampaknya masih belum menunjukkan tanda-tanda mengendur. Bahkan perkembangan terbaru menunjukkan tren yang semakin memprihatinkan dengan teguhnya Filipina dalam mempertahankan klaimnya di Ayungin Shoal.
Tidak seperti pendahulunya, Rodrigo Duterte, sikap Filipina terhadap sengketa maritim telah bergeser secara signifikan di bawah Presiden Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr. Presiden yang baru setahun menjabat itu telah mengambil sikap yang lebih berani terhadap klaimnya di Laut Cina Selatan, sehingga meningkatkan ketegangan dan kekerasan di antara kedua pihak.
Pada 17 Juni, misi rutin untuk memasok kembali pasukan Filipina di atas BRP Sierra Madre di Ayungin Shoal terganggu ketika Penjaga Pantai China (CCG) menggunakan kekuatan fisik, senjata, sirene, dan lampu terang untuk menghalangi Angkatan Bersenjata Filipina dalam mengirimkan pasokan.
Perilaku agresif CCG, yang dilakukan di bawah kedok taktik zona abu-abu (gray zone tactic), bersama dengan sikap tanpa kompromi Filipina, menandai peningkatan ketegangan regional yang cukup mengkhawatirkan. Dampak apa yang mungkin ditimbulkan dari konflik ini terhadap keamanan regional?
Ketegangan yang meningkat di Laut China Selatan (LCS) telah mengungkapkan retakan signifikan dalam konsep Sentralitas ASEAN. Saat negara-negara anggota berjuang untuk menyajikan kesatuan suara dalam menghadapi agresivitas China yang semakin meningkat, kemampuan blok regional untuk mempertahankan kohesi dan secara efektif mengelola tantangan keamanan sedang dipertanyakan. Kesatuan dan koherensi ASEAN dirusak oleh perbedaan kepentingan nasional dari negara-negara anggotanya, beberapa di antaranya lebih cenderung mengakomodasi kebangkitan China karena ketergantungan ekonomi. Dalam survei terbaru yang diterbitkan oleh Pusat Studi ASEAN di ISEAS Yusof Ishak, terungkap bahwa ada peningkatan tren positif terhadap China pada 2024, khususnya ketika negara-negara ASEAN dipaksa untuk memilih antara China dan Amerika Serikat. Survei tersebut menunjukkan, sentimen positif terhadap China meningkat dari 38,9% pada 2023 menjadi 50,5% pada tahun berikutnya. Sebaliknya, sentimen positif terhadap AS menurun secara signifikan dari 61,1% pada 2023 menjadi 49,5% pada 2024. Menariknya, Indonesia dan Malaysia menunjukkan pergeseran terbesar ke arah China, dengan Indonesia meningkat dari 53,7% menjadi 73,2%, dan Malaysia dari 54,8% menjadi 75,1%. Sebagai negara terbesar dan terpadat di Asia Tenggara, Indonesia secara historis memainkan peran penting dalam ASEAN. Namun, selama satu dekade terakhir, fokus Indonesia telah bergeser ke arah diplomasi ekonomi dan pembangunan domestik di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pembangunanisme Jokowi memprioritaskan proyek infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, yang sering didukung oleh investasi China, daripada kepemimpinan regional. Fokus internal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Indonesia terhadap ASEAN dan kapasitasnya untuk mempengaruhi isu-isu regional. Lokasi strategis Indonesia dan identitasnya sebagai emerging middle power menempatkannya secara unik untuk menjadi penengah dan pemimpin dalam ASEAN. Namun, trajektori terbarunya menunjukkan Indonesia menarik dari diplomasi regional yang proaktif, menyebabkan kekhawatiran di kawasan tentang kesediaannya untuk mempertahankan otonomi strategis kawasan. Menemukan Keseimbangan Saat bersiap untuk kepemimpinan baru di bawah Prabowo Subianto, negara ini berada di persimpangan jalan. Prabowo menghadapi dilema signifikan: apakah harus melanjutkan jalur pembangunan Presiden Jokowi, yang sangat bergantung pada investasi China, atau kembali memperkuat peran Indonesia dalam ASEAN dan menegaskan sikap regional yang lebih menonjol? Melanjutkan fokus ekonomi Jokowi berarti mempertahankan dan berpotensi meningkatkan investasi China, yang telah menjadi instrumen kunci dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Namun, jalan ini mungkin membatasi kemampuan Indonesia untuk mengoreksi agresivitas China di LCS dan membendung pengaruhnya di ASEAN. Pemerintahan Prabowo harus menavigasi keseimbangan yang rumit antara bantuan ekonomi China sambil mengelola implikasi geopolitik dari ketergantungan tersebut. Di sisi lain, jika Prabowo memilih untuk meningkatkan kepemimpinan regional Indonesia dan menegaskan pengaruhnya di ASEAN, dia berisiko mengasingkan China, yang bisa berdampak pada penurunan, atau malah terputusnya investasi dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Memperkuat peran Indonesia akan melibatkan penegasan komitmen terhadap Sentralitas ASEAN, mendorong sikap yang bersatu terhadap sengketa LCS, dan menjalin hubungan yang lebih kuat dengan kekuatan regional lainnya dan sekutu global. Pendekatan ini akan sejalan dengan kepentingan strategis jangka panjang Indonesia tetapi memerlukan penyesuaian hati-hati dari ketergantungan ekonominya. Kepresidenan Prabowo perlu menemukan keseimbangan yang rumit antara kedua jalur ini. Peran Indonesia sebagai pemimpin regional sangat penting untuk stabilitas dan koherensi ASEAN. Sesuai dengan pidatonya di Shangri-La Dialogue pada 1 Juni, Prabowo menekankan tatanan berbasis aturan (rules-based order) di Laut China Selatan dan memastikan bahwa ASEAN tetap sentral dalam dialog keamanan regional. Namun, mencapai keseimbangan ini akan memerlukan diplomasi inovatif dan pandangan strategis. Prabowo perlu memanfaatkan posisi Indonesia untuk mendorong kesatuan regional tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Berhubungan dengan China dalam posisi yang lebih setara, mempromosikan diversifikasi investasi asing, dan meningkatkan kemitraan multilateral dengan anggota ASEAN lainnya serta kekuatan eksternal seperti AS, Jepang, dan Australia akan menjadi strategi kunci. Sengketa LCS dan erosi Sentralitas ASEAN menghadirkan tantangan signifikan bagi Indonesia saat menavigasi peran masa depannya di kawasan ini. Kepresidenan Prabowo yang akan datang akan sangat penting dalam menentukan apakah Indonesia dapat mengklaim kembali kepemimpinan ASEAN sambil menyeimbangkan tuntutan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas regional. Jalan ke depan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam mendamaikan kepentingan domestik dan tanggung jawab regional, serta memastikan bahwa Indonesia terus menjadi yang terdepan dalam perdamaian dan kemakmuran di Asia Tenggara.
Perilaku agresif CCG, yang dilakukan di bawah kedok taktik zona abu-abu (gray zone tactic), bersama dengan sikap tanpa kompromi Filipina, menandai peningkatan ketegangan regional yang cukup mengkhawatirkan. Dampak apa yang mungkin ditimbulkan dari konflik ini terhadap keamanan regional?
Ketegangan yang meningkat di Laut China Selatan (LCS) telah mengungkapkan retakan signifikan dalam konsep Sentralitas ASEAN. Saat negara-negara anggota berjuang untuk menyajikan kesatuan suara dalam menghadapi agresivitas China yang semakin meningkat, kemampuan blok regional untuk mempertahankan kohesi dan secara efektif mengelola tantangan keamanan sedang dipertanyakan. Kesatuan dan koherensi ASEAN dirusak oleh perbedaan kepentingan nasional dari negara-negara anggotanya, beberapa di antaranya lebih cenderung mengakomodasi kebangkitan China karena ketergantungan ekonomi. Dalam survei terbaru yang diterbitkan oleh Pusat Studi ASEAN di ISEAS Yusof Ishak, terungkap bahwa ada peningkatan tren positif terhadap China pada 2024, khususnya ketika negara-negara ASEAN dipaksa untuk memilih antara China dan Amerika Serikat. Survei tersebut menunjukkan, sentimen positif terhadap China meningkat dari 38,9% pada 2023 menjadi 50,5% pada tahun berikutnya. Sebaliknya, sentimen positif terhadap AS menurun secara signifikan dari 61,1% pada 2023 menjadi 49,5% pada 2024. Menariknya, Indonesia dan Malaysia menunjukkan pergeseran terbesar ke arah China, dengan Indonesia meningkat dari 53,7% menjadi 73,2%, dan Malaysia dari 54,8% menjadi 75,1%. Sebagai negara terbesar dan terpadat di Asia Tenggara, Indonesia secara historis memainkan peran penting dalam ASEAN. Namun, selama satu dekade terakhir, fokus Indonesia telah bergeser ke arah diplomasi ekonomi dan pembangunan domestik di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pembangunanisme Jokowi memprioritaskan proyek infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, yang sering didukung oleh investasi China, daripada kepemimpinan regional. Fokus internal ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Indonesia terhadap ASEAN dan kapasitasnya untuk mempengaruhi isu-isu regional. Lokasi strategis Indonesia dan identitasnya sebagai emerging middle power menempatkannya secara unik untuk menjadi penengah dan pemimpin dalam ASEAN. Namun, trajektori terbarunya menunjukkan Indonesia menarik dari diplomasi regional yang proaktif, menyebabkan kekhawatiran di kawasan tentang kesediaannya untuk mempertahankan otonomi strategis kawasan. Menemukan Keseimbangan Saat bersiap untuk kepemimpinan baru di bawah Prabowo Subianto, negara ini berada di persimpangan jalan. Prabowo menghadapi dilema signifikan: apakah harus melanjutkan jalur pembangunan Presiden Jokowi, yang sangat bergantung pada investasi China, atau kembali memperkuat peran Indonesia dalam ASEAN dan menegaskan sikap regional yang lebih menonjol? Melanjutkan fokus ekonomi Jokowi berarti mempertahankan dan berpotensi meningkatkan investasi China, yang telah menjadi instrumen kunci dalam pembangunan infrastruktur Indonesia. Namun, jalan ini mungkin membatasi kemampuan Indonesia untuk mengoreksi agresivitas China di LCS dan membendung pengaruhnya di ASEAN. Pemerintahan Prabowo harus menavigasi keseimbangan yang rumit antara bantuan ekonomi China sambil mengelola implikasi geopolitik dari ketergantungan tersebut. Di sisi lain, jika Prabowo memilih untuk meningkatkan kepemimpinan regional Indonesia dan menegaskan pengaruhnya di ASEAN, dia berisiko mengasingkan China, yang bisa berdampak pada penurunan, atau malah terputusnya investasi dari Negeri Tirai Bambu tersebut. Memperkuat peran Indonesia akan melibatkan penegasan komitmen terhadap Sentralitas ASEAN, mendorong sikap yang bersatu terhadap sengketa LCS, dan menjalin hubungan yang lebih kuat dengan kekuatan regional lainnya dan sekutu global. Pendekatan ini akan sejalan dengan kepentingan strategis jangka panjang Indonesia tetapi memerlukan penyesuaian hati-hati dari ketergantungan ekonominya. Kepresidenan Prabowo perlu menemukan keseimbangan yang rumit antara kedua jalur ini. Peran Indonesia sebagai pemimpin regional sangat penting untuk stabilitas dan koherensi ASEAN. Sesuai dengan pidatonya di Shangri-La Dialogue pada 1 Juni, Prabowo menekankan tatanan berbasis aturan (rules-based order) di Laut China Selatan dan memastikan bahwa ASEAN tetap sentral dalam dialog keamanan regional. Namun, mencapai keseimbangan ini akan memerlukan diplomasi inovatif dan pandangan strategis. Prabowo perlu memanfaatkan posisi Indonesia untuk mendorong kesatuan regional tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Berhubungan dengan China dalam posisi yang lebih setara, mempromosikan diversifikasi investasi asing, dan meningkatkan kemitraan multilateral dengan anggota ASEAN lainnya serta kekuatan eksternal seperti AS, Jepang, dan Australia akan menjadi strategi kunci. Sengketa LCS dan erosi Sentralitas ASEAN menghadirkan tantangan signifikan bagi Indonesia saat menavigasi peran masa depannya di kawasan ini. Kepresidenan Prabowo yang akan datang akan sangat penting dalam menentukan apakah Indonesia dapat mengklaim kembali kepemimpinan ASEAN sambil menyeimbangkan tuntutan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas regional. Jalan ke depan memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dalam mendamaikan kepentingan domestik dan tanggung jawab regional, serta memastikan bahwa Indonesia terus menjadi yang terdepan dalam perdamaian dan kemakmuran di Asia Tenggara.
0 Komentar